Senin, 16 Juni 2008

BANGKIT

Menyaksikan videoklip garapan Rizaldi Siagian, pikiran saya melayang ke masa kecil. Lagu yang menceritakan Indonesia ini terasa hidup melalui pemandangan hutan Kalimantan. Hutan dengan berbagai binatang yang bermain di antara pohon-pohon yang berdiri tegar. Hutan hijau yang pernah dianggap sebagai paru-paru dunia dan merupakan kekayaan alam Indonesia. Serasa begitu nyata karena saya pernah berada langsung di hadapannya.

Penampilan videoklip tersebut dilanjutkan puluhan penyair yang membacakan puisi dengan menggebu-gebu. Lantunan bait kata bernafaskan semangat yang kental akan aroma perjuangan bangsa. Rentetan acara inilah yang menjadi pentas tepat sehari sebelum peringatan 100 tahun kebangkitan nasional di kawasan Bulungan Jakarta. Seratus tahun yang lalu telah dianggap sebagai awal mula nusantara menyatakan kebangkitannya. Budi Oetomo berdiri sebagai konsekuensi perjuangan cendekiawan muda Indonesia. Kala itu, kemajuan pendidikan adalah satu tuntutan yang harus diwujudkan.

Ki Hajar Dewantara pun mencetuskan ’tiga dinding’ sebagai metode belajar. Metode yang divisualisasikan sebagai sebuah ruang kelas dengan satu dinding yang terbuka. Sistem yang menginginkan agar teori yang dipelajari di dalam ruang menjadi dekat dengan realita di luar. Sistem yang memaksa peserta didik mendengar suara masyarakat yang berdengung di luar kehormatan institusi pendidikan. Suara masyarakat yang galibnya merupakan suara Tuhan.

Suara-suara ini menginginkan perlakuan dan kesejahteraan yang lebih baik atas para buruh. Suara yang memekik tertahan dalam kegagalan 10 tahun reformasi penuh penyesalan, menyeruak dalam peringatan 100 tahun kebangkitan nasional. Suara kencang teriakan menuntut Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II agar dituntaskan. Suara yang dulu meruntuhkan penguasa zalim yang selama 30 tahun menjadi simbol suatu rezim. Suara yang membahana di Gelora Bung Karno, bersatu mendukung para "srikandi tepok bulu" Indonesia dalam final Piala Uber 2008.

Masih ada lagi suara tangis dan jeritan orang-orang saat dilarang memeluk keyakinan dan rumah ibadahnya dibakar. Suatu perseteruan menentukan kepercayaan yang paling benar. Mungkinkah juga itu suara Tuhan? Atau justru Tuhan disuarakan oleh mereka yang melakukan pembakaran dan pelarangan kepada keyakinan orang lain? Siapapun di antara keduanya yang menang, inilah antiklimaks sebuah negara yang mengakui kebhinekaan.

Namun kini yang terdengar hanya suara-suara khusyuk doa para siswa menjelang Ujian Nasional. Doa-doa yang dipanjatkan dalam ketakutan layaknya menghadapi bencana nasional. Saya pun hanya duduk termangu mendengar suara perut yang mulai keroncongan menanti suplai makanan. Dilema sebuah pemikiran dalam pertanyaan "Mau makan apa?" alih-alih sebagian besar bangsa ini bertanya "Apa yang mau dimakan?"

Nyanyian kebangkitan menjadi tidak lebih dari sekedar suara yang usang. Seremoni ortodoks dalam suara menjerit atas naiknya harga bahan bakar. Berbicara kebangkitan haruslah seperti yang dikatakan Dedy Mizwar sebagai sebuah rasa malu. Malu menjadi benalu dan minta melulu. Atau mungkin kebangkitan adalah pernyataan Taufik Ismail dalam puisi ’Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini’ yang bertanya, "Inikah yang namanya merdeka"#

*nada minor, Mei 2008, VOX POPULI VOX DEI

2 komentar:

Anonim mengatakan...

makin mantab tulisan lu lon,,,
diantara semua tulisan lu gw paling suka BANGKIT,,,
karena di tulisan ini ada ttg videoklip, sejarah, dan realita saat ini yang dirangkum menjadi sebuah essay yang cergas dan mudah dicerna,,,
gw lebih suka lu nulis essay dibanding cerpen karena essay lu lebih punya "soul" dibanding cerpen lu,,,
btw gw mo komplen,,,nama blog gw ganti doong jangan curhatan bunga,,,sadis lu hehehhehehe
c u around marlon

Anonim mengatakan...

Hola Marlon...
sepakat aye Marlon mari BANGKIT
berdiri tinggalkan merangkak.
karena buat hitungan umur suatu bangsa, negri kita ini seharusnya
sudah bersekolah tingkat lanjutan pertama...hehehe..
oiya gua hendak menjawab dgn
"versi Aneze" buat pertanyaan
Mungkinkah juga itu suara Tuhan? Atau justru Tuhan disuarakan oleh mereka yang melakukan pembakaran dan pelarangan kepada keyakinan orang lain?
jawabku;
"Tidak mungkin Tuhan lebih kejam dari si Iblis Setan"
itu saja, esai ini begitu panjang tapi tidak meluas maknanya,
Great art..Great Skill..
-Cheers-

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...