Ini salah satu surat yang masuk ke e-mail penulis terkait dengan artikel di The Jakarta Post.
Malam sudah sudah agak larut sewaktu saya membaca artikel di the Jakarta Post hari ini. Students keep on writing against the odds* kata judulnya. Kupikir, mahasiswa universitas lain, bermasalah dengan rektoratnya, dan melawan.
Takjub saya baca, bagian berikutnya dari artikel tersebut: Members of the editorial staff of the Viaduct tabloid listen attentively to the explanation of their general manager, Lamgiat Siringoringo, on the planned publication of their bimonthly tabloid.
Tabloid Viaduct! Mungkinkah itu Viaduct tercinta dari FH Atma Jaya Jakarta? Terus kutelusuri bagian berikutnya. Lega dan Bangga, akhirnya! Tertulis: which is run by students of Atmajaya Catholic University’s law school. Benar! Itu Viaduct-ku, Viaduct kita!
Sebuah artikel dari sebuah koran bergengsi di tanah air, yang memuat berita tentang tabloid mahasiswa kita, Viaduct, tentu amat membanggakan. The Jakarta Post! The leading English Newspaper in Indonesia!
Namun di sisi lain, terenyuh juga saya membaca konteks berita dalam harian tersebut. Viaduct, ternyata, masih juga menghadapi persoalan pengebirian ide dan gagasan, yang ironisnya datang dari sebuah institusi yang seharusnya memberi ruang luas bagi kemerdekaan berpikir dan menuangkan gagasan serta mengambil sikap atas sesuatu dengan kesiapan menanggung segala resikonya.
Sebuah artikel dari sebuah koran bergengsi di tanah air, yang memuat berita tentang tabloid mahasiswa kita, Viaduct, tentu amat membanggakan. The Jakarta Post! The leading English Newspaper in Indonesia!
Namun di sisi lain, terenyuh juga saya membaca konteks berita dalam harian tersebut. Viaduct, ternyata, masih juga menghadapi persoalan pengebirian ide dan gagasan, yang ironisnya datang dari sebuah institusi yang seharusnya memberi ruang luas bagi kemerdekaan berpikir dan menuangkan gagasan serta mengambil sikap atas sesuatu dengan kesiapan menanggung segala resikonya.
Bukan hanya sekarang Viaduct menghadapi persoalan ini. Rasanya, perjalanan waktu Viaduct adalah sebuah cerita panjang tentang ingin ditegakkannya selalu konsep “pendidikan terpimpin” (meminjam istilah demokrasi terpimpinnya Soekarno) - nya Dekanat FH UAJ. Viaduct boleh terbit, Viaduct boleh menikmati uang UKM, asal, Viaduct menyerah pada “sensor pikiran” ala birokrat FH UAJ. Tidak cukup dengan persoalan Viaduct, urusan organisasi kemahasiswaanpun (senat atau KM FH atau apapun namanya) tidak pernah luput dari proses penyetiran kreatifitas dan gagasan. Sampai masalah kemping pun, hanya titah dekanatlah yang dianggap menjadi penentu ada atau tidak adanya kemping mahasiswa.
Entahlah, buat mereka, rasanya para mahasiswa adalah sekumpulan manusia bodoh, lugu dan tidak tahu apa-apa yang, celakanya, harus dipertahankan untuk tetap menjadi bodoh, lugu dan tidak tahu apa-apa. Kebenaran, Konsep Betul-Salah, Keputusan Boleh atau Tidak melakukan sesuatu, semuanya ada di tangan dekanat. Buat mereka, seakan mahasiswa hanya sekumpulan komputer tanpa sistem operasi. Dan pikiran para dekanatlah yang harus selalu menjadi sistem operasi tersebut. Hitam kata Dekanat, harus Hitam kata Mahasiswa; Putih kata Dekanat, harus Putih kata mahasiswa. Penyimpangan adalah dosa. Perbedaan adalah nista. Dan diskusi tentang perbedaan adalah dianggap sama dengan mencobai Tuhan. Padahal, bahkan Ayub pun diberi kesempatan olehNYA untuk menggugat Tuhan.
Lalu, untuk apa pula syarat yang diberikan dekanat pada para jurnalis Viaduct: bahwa mereka harus terlebih dahulu menyerahkan rancangan tulisan-tulisan yang akan dimuat dalam edisi berikutnya, kepada dekanat, sebelum mendapat pengesahan dalam bentuk turunnya uang IKM? Apakah dekanat (mungkin khususnya Pembantu Dekan III) merasa lebih tahu soal tehnik jurnalistik ketimbang para jurnalis muda Viaduct yang mendapat pelatihan jurnalistik dari para wartawan senior seperti mantan Kepala Editor Suara Pembaruan, Cyprianus Aoer, atau Wartawan Senior Kompas, Bambang Wisudo?
Apakah, kalau sampaipun Viaduct mau menyerahkan rancangan tabloidnya pada dekanat, maka akan terjadi suasana akademis dialogis yang akan memperkaya dan mempertajam tulisan serta teknik investigasi jurnalistik dalam Viaduct? Jujur, dalam bayangan saya (berdasarkan pengalaman), dekanat hanya akan bisa bilang: “Ini jangan dimuat, Itu boleh dimuat dengan perubahan kutipan” tapi tanpa debat argumen dalam konteks pengayaan kemampuan jurnalistik mahasiswa. Persis seperti apa yang selama 32 tahun dilakukan oleh Soeharto melalui hamba setianya, Harmoko, Sang Menteri Penerangan dulu.
Tentu, tidak ada yang mengatakan bahwa mahasiswa selalu benar. Banyak kekeliruan dan kesalahan yang bisa dilakukan para mahasiswa. Tapi, bukankah justru di situ persoalannya? Bahwa baik dekanat serta mahasiswa, dalam kemanusiaannya, keduanya bisa jatuh dalam kekeliruan sehingga, seharusnya, tidak ada pihak yang patut merasa menguasai kebenaran, apalagi kemudian, menjadikan standar kebenarannya sendiri sebagai sebuah hukum positif yang mengikat dan menekan.
Kalau alasannya mencegah kesalahan terjadi, pertanyaan mendasarnya adalah: kesalahan dalam konsep siapa? Siapa penentu benar salah? Hanya dekanat? Lalu, kalaupun katakanlah Viaduct melakukan sesuatu yang benar-benar dianggap sebuah kesalahan secara universal, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kesalahan kini tak lagi dianggap sebagai bagian integral dari kemanusiaan manusia?
Kalaupun memang Lamgiat, Marlon ataupun jurnalis lainnya di Viaduct melakukan kesalahan, tidak bisakah lagi mereka belajar untuk juga mempertanggungjawabkan kesalahan itu, bahkan kalau perlu tanggung jawab hukum nasional, secara mandiri, melalui kesalahannya itu? Bahkan, sebagai sebuah institusi pendidikan, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kini FH Atma Jaya sudah tidak lagi menganggap bahwa kesalahan juga adalah proses dari pendidikan? Sehingga, untuk itu, kesalahan harus dicegah dengan cara sensor pikiran sebelum “terjadi”, dan ukuran standarnya adalah pikiran dekanat FH semata.
Tidaklah cukup hanya mengandalkan pendidikan di FH UAJ hanya pada sesi-sesi kuliah dalam ruang sekian kali sekian meter. Ada terlalu banyak persoalan kompleks di luar tembok Atma Jaya yang harus dihadapi lulusan Atma Jaya seselesainya menimba ilmu di kampus. Dan satu hal pasti, diktat kuliah tidak akan pernah cukup memberi bekal mahasiswa dalam menghadapi belantara tersebut.
Jika justru di kampus dipelihara situasi “kebenaran satu arah”, “petunjuk satu arah”, entah dimana lagi orang bisa berharap adanya oase “pertempuran ide merdeka” untuk kemajuan peradaban? Ketika kebenaran hanya milik satu pihak, entah apa gunanya ada otak dalam kepala kita? Ada hati dalam setiap relung jiwa?
Belajar ilmu hukum seharusnya bukan melulu belajar soal kepatuhan belaka. Ketika Soekarno-Hatta nekat memprolamirkan kemerdekaan bangsa ini di saat Jepang menyatakan larangannya bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan karena, katanya, kemerdekaan bagi Indonesia akan segera diberikan oleh Jepang, maka di saat itu, kita juga sebenarnya sedang belajar ilmu hukum.
Ketika Martin Luther King Jr, tokoh aktivis anti kebijakan rasisme di Amerika menyatakan perlawanan tanpa kekerasan untuk mecabut kebijakan segregasi atas dasar perbedaan warna kulit, sebenarnya kita juga sedang belajar ilmu hukum. Bahkan, menilik lebih jauh lagi, ketika Nabi Musa membawa Bani Israel keluar dari perbudakan di Mesir padahal Fir’aun mengeluarkan larangan bagi Bani Israel untuk keluar dari Mesir, maka sebenarnya kita juga sedang belajar ilmu hukum.
Demikian pula, sejatinya, perlawanan Viaduct saat ini adalah sebuah proses belajar ilmu hukum bagi para mahasiswa FH UAJ. Sama seperti sebuah tajuk di Tabloid Viaduct pada terbitannya di sekitar tahun 1999, saat ini Viaduct sedang mengajak kita (kembali): “Mari, Melawan Hukum!”, karena memang: Hukum Mengajarkan kita akan “Ketertiban” tapi Cinta, Mengajarkan Kita Kapan Harus Melanggarnya! (#)
Proficiat Viaduct FH UAJ! Semoga proses belajar yang mahal ini akan berguna bagi Anda semua. Saya yakin itu!
Tabik,
Bona Sigalingging
Tidak ada komentar:
Posting Komentar