Jumat, 17 Juli 2009

ADIL

Takdir menunggu di halte. Duduk memegang map berisi riwayat hidup dan beberapa lembar sertifikat dari pelatihan dan kursus yang pernah diikutinya. Kemeja licin disetrika dan sepatu disemir rapi. Takdir akan mengikuti wawancara kerja, di sebuah perusahaan penyedia jasa pekerja.

Sudah enam bulan ia coba mendapatkan pekerjaan tetap. Mengirim ratusan surat lamaran lewat pos dan e-mail. Melalui berbagai tes kemampuan dari mulai hitungan sederhana hingga berbahasa. Mengikuti bermacam pemeriksaan kesehatan dari pemeriksaan darah hingga buta warna. Menyambangi satu perusahaan ke perusahaan lain. Menunggu tiadanya panggilan dan menerima penolakan demi penolakan.


Sambil memandang jalan, ia mulai meragukan kemampuannya. Ilmu hukum yang dipelajari selama lima tahun di bangku kuliah. Kemampuan berorganisasi yang semakin terasah di berbagai kegiatan. Nilai idealis seorang mahasiswa dari ruang-ruang diskusi tentang Marxis dan kapitalisme, bahkan neoliberalisme.

Ironis memang. Dulu di jalan ini Takdir pernah garang berteriak. Menyanyikan lagu-lagu perjuangan aktifis tahun 1998. Orasi yang membakar aspal tentang orang-orang yang terpinggirkan. Yang menjadi korban dari kesenjangan sosial. Menyumpahi pemerintah dan aparat. Mencari keadilan.

Batinnya mengeluh. Saat ini, ia menyadari keadilan mempermainkannya. Keadilan yang dulu dicarinya di jalan ini. Mungkin sekarang masih tertimbun dalam genangan lumpur Lapindo. Atau telah terbawa arus jebolnya tanggul Situ Gintung. Berbaur dalam poster-poster caleg dalam kampanye pemilu. Sesaat hadir dalam debat capres dan cawapres dan cenderung kembali menjadi harapan pilu.

Saat ini keadilan tidak berpihak pada Takdir. Sebagaimana keadilan berpaling dari nasib ribuan tenaga kerja Indonesia di luar sana. Tersiksa, teraniaya, diperkosa badan dan haknya, tetapi tetap kalah melawan pemberitaan Manohara. Juga menjadi pecundang dalam berita meninggalnya raja musik pop dunia.

Takdir sadar ia bukan wong cilik. Yang hanya dapat menunggu orang lain memberikan keadilan. Ia seorang sarjana. Seorang ahli hukum, subyek utama keadilan. Walau akhirnya tak berdaya. Hanya mampu duduk menunggu bus kota. Masih menadahkan tangan kepada orang tua.

Kisah Takdir mungkin hanya sebuah rekayasa. Cerita yang tertulis dalam ketidaksabaran menghadapi kemacetan Jakarta. Namun masalah Takdir bukan omong kosong semata. Masih ada banyak Takdir yang bernasib sama. Menunggu janji-janji calon pemimpin bangsa yang sekali lagi mungkin akan tersia-sia.#


Jakarta, 24 Juni 2009
*ARUS Edisi IV Juni 2009

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...