Jumat, 17 Juli 2009

IDEM

Setelah seminggu berkutat dengan pekerjaan, tiba waktunya untuk sedikit bersenang-senang di akhir pekan. Maka saya berinisiatif mengajak beberapa kawan sesama bujangan untuk sekedar kumpul-kumpul sembari makan malam. Mungkin kalau waktu masih panjang, dilanjutkan dengan segelas kopi sebagai kudapan.

Saya menduga akan menerima penolakan dari satu dua orang dengan pernyataan bahwa hari ini sedang malas atau ada urusan. Namun saya terkejut karena salah seorang kawan mengiyakan ajakan saya untuk berkumpul disertai dengan pernyataan bahwa ia tidak ingin makan karena sedang bosan. Saya tahu pernyataan itu hanya sebuah kalimat untuk mengundang tawa. Tapi tanpa sadar, saya membayangkan bagaimana rasanya mengalami kebosanan untuk makan.


Kegiatan yang didefinisikan sebagai ‘makan’ jelas merupakan sebuah kebutuhan. Kegiatan ini malah termasuk yang paling penting. Terlepas dari kuantitasnya yang berkurang akibat program diet atau menguruskan badan. Bahkan secara normal, dalam waktu-waktu tertentu tubuh akan mengeluarkan sinyal-sinyal yang diartikan sebagai lapar atau keharusan untuk makan.

Namun tidak salah jika kemudian kegiatan makan ini menjadi membosankan. Mungkin karena makan telah menjadi sekedar kebiasaan. Sebagaimana bernafas yang dilakukan tanpa sadar. Makan menjadi pengulangan rutin tindakan keseharian yang wajib dilakukan. Sebuah repetisi naluri kemanusiaan yang wajar.

Ia membentuk suatu ritual wajib yang kemudian dilakukan pada jangka waktu tertentu. Walaupun sedang tidak lapar, dengan alasan menjaga kesehatan, kegiatan makan tetap dilakukan. Sederhananya berarti paling tidak ada dua waktu yang berulang dalam setiap hari. Mungkin tiga jika dihitung dengan makan pagi.

Saya tidak menyatakan bahwa waktu-waktu tersebut terbuang percuma karena bagaimanapun juga saya termasuk pribadi yang menikmati kegiatan makan. Baik kualitas makanan itu sendiri maupun suasana yang mendukungnya. Tapi saya hanya mulai mencoba mengingat berapa banyak pengulangan selain makan dalam keseharian yang selalu saya lakukan.

Selayaknya membaca sebuah otobiografi, saya terkejut menyadari bahwa setengah dari tebal buku tentang keseharian saya itu akan memuat pengulangan. Tanpa sadar, setiap hari saya menjadi sebuah robot yang memprogram diri sendiri untuk melakukan kegiatan yang sama. Mungkin merasakan hal yang sama, bahkan memberikan reaksi yang sama juga atas perasaan tersebut.

Jika benar demikian, saya tidak ada bedanya dengan binatang. Berburu jika lapar, beristirahat jika lelah, bercinta jika musim kawin tiba, dan sedikit hibernasi jika sedang tidak berselera melakukan apa-apa. Sebuah pengingkaran seorang manusia atas kemanusiaannya. Sebuah kelalaian penggunaan akal budi dan logika.

Maka beruntunglah anak cucu saya. Karena di masa depan saat mereka menemukan buku otobiografi saya tersebut, mereka tidak akan kesulitan memahami isinya. Cukup membaca satu dua bab pertama, lalu melewatkan bab-bab berikutnya yang hanya bertuliskan kata “idem”.#

Jakarta, 10 Juli 2009
*ARUS Edisi V Juli 2009

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...