Kamis, 02 Juli 2009

UNTUK KAWAN

Betapa dunia baru ini sudah tidak lagi memiliki batas. Tak mampu memisahkan kau dan aku dalam jarak dan waktu. Dalam balutan aroma hutan khatulistiwa dan teriknya siang. Di kebisingan polusi jalan dan menggigilnya malam.

Kau telah menyapaku pagi ini. Dalam dua kalimat sederhana. Sudah kubalas pula sapamu, diakhiri tiga tanda seru. Hariku pasti akan bersemangat, dimulai dengan sapamu yang bersahabat.

Beban kerja akan terlupa begitu saja. Begitu pula semua tumpukan kertas di atas meja. Tumpukan itu masalah biasa. Hanya membutuhkan goresan tanda tangan di setiap lembarnya. Walau kadang menjadi terbengkalai, tapi tak apa.


Aku tahu kau ada dimana. Aku tahu kau bersama siapa, bahkan apa yang kau lakukan. Tidakkah kau akan tercengang, saat kukatakan bahwa aku tahu apa yang kau pikirkan. Tidakkah kau akan terheran, saat kunyatakan bahwa aku mengerti apa yang kaurasakan. Jawabmu tidak.

Maka aku juga. Aku pasti mengtatakan tidak saat kau pun bertanya hal yang sama. Kuberikan sedikit senyum, saat kau berkomentar jenaka atas apa yang kupikirkan. Dengan tulus aku berterimakasih, saat kau memberikan petuah bijak atas apa yang sedang kurasakan.

Wajahmu yang kutatap satu demi satu, selalu memberikan senyuman. Aku tahu senyuman itu terkadang menyembunyikan kesedihanmu. Senyuman itu terkadang menutupi kemarahanmu. Sebuah emosi visual yang kau ciptakan dalam usaha pencitraan di hadapan orang. Sebuah usaha yang kusadari dilakukan bukan hanya oleh kau seorang.

Dunia baru ini menyenangkan. Kuraih perhatian lewat sedikit perubahan. Kuterima pujian lewat sebuah pernyataan. Kudapatkan simpati atas secuil kemalangan.

Apakah kau juga begitu, kawan? Meski kau bukan siapa-siapa di luar dunia baru ini. Tidak seorang pun tahu kabarmu. Tiada pula yang peduli untuk sekedar mencari tahu. Tidak juga aku.
Pujian atas keberhasilanmu hanya impian. Ungkapan simpati pun menjadi angan-angan. Perhatian mesti ditebus dengan mahal. Kadang-kadang dalam sebuah umpatan kasar atas kesalahan yang kau lakukan.

Dulu kau berdiri dalam ketiadaan. Menyumpahi masyarakat yang individual. Kau nikmati sebuah ketidakberdayaan. Selepas kegagalan pengungkapan gagasan dan ketidakmauan.
Kusampaikan maaf padamu. Atas ketidakpedulianku selama ini. Tersamar dalam kegembiraan pertemuan sebuah pertemanan yang lama hilang. Kutuliskan di dinding, agar semua orang yang lewat tahu. Kusertakan sebuah hadiah, untuk dapat kau pandangi setiap waktu.

Aku tidak selalu dapat berdiri di sampingmu. Aku tidak selalu dapat memberikan pelukan seorang sahabat. Tapi akan ada yang memperhatikanmu. Meski bukan aku. Selama kau mengaktifkan situs jejaring pertemanan itu.

Apakah kau akan memaafkan aku, kawan? Jika kuminta kau untuk tidak terlena dalam dunia baru ini. Agar kau tidak hanyut dalam ilusi sosial, yang menegaskan kembali kesendirian. Kesendirian yang ingin kau hindari lewat dunia baru yang mengembalikanmu pada ketiadaan.#


Jakarta, 28 Mei 2009
*ARUS Edisi III Juni 2009

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...