Tidak ada yang istimewa di pagi itu. Berangkat ke kantor seperti biasa, sampai di kantor lalu menyalakan komputer, dan terhenyak membaca berita utama yang terpampang di salah satu situs. Dua bom meledak di hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. Sebuah peristiwa yang tidak biasa, di sebuah pagi yang seharusnya biasa.
Bukan dugaan motif pelaku yang membuat saya duduk terdiam beberapa saat. Bukan pula jumlah korban tewas dan luka-luka atau seberapa parah kerusakan yang ditimbulkannya. Bahkan bukan pula batalnya tim sepakbola Manchester United untuk melakukan pertandingan persahabatan dengan tim sepakbola nasional.
Saya terpaku saat menyadari bahwa masa depan bangsa ini, dalam identitas ke-Indonesia-an yang mulai terlihat cerah, perlahan kembali redup menghitam. Lupakan iklan layanan masyarakat tentang Visit Indonesia Year atau Visit Jakarta. Tidak ada gunanya merias wajah pariwisata dalam usaha pencitraan mengajak orang datang, jika tidak mampu memberi kebutuhan yang paling mendasar yaitu rasa aman.
Sebuah surat elektronik tiba di pagi yang biasa itu. Tim nasional sepakbola Indonesia untuk pertama kalinya menunjukkan prestasi menggembirakan. Mereka menang melawan Manchester United. Kemenangan yang diraih lewat walk out tim lawan yang tidak berani datang kegelanggang pertandingan.
Surat elektronik itu dibuat dengan tujuan agar pembacanya tersenyum bahkan tertawa. Saat sebagian keluarga korban terisak pilu, jutaan lain mengumpat tindakan pelaku, dan sisanya kecewa karena telah membeli tiket pertandingan persahabatan namun urung menonton. Sebuah senyum sinis untuk kebanggaan atas noda hitam pembangunan.
Seperti layaknya pentas teatrikal, dua ledakan bom ini berhasil meraih perhatian dengan mengangkat tema ketidakmampuan suatu bangsa menjadi tuan rumah yang baik. Dalam kebiasaan isu media, peristiwa ini mungkin akan segera ditinggalkan penonton. Hilang oleh hasil penghitungan suara pemilu yang dilakukan KPU.
Tapi peristiwa ini tidak akan hilang bagi mereka yang menyatakan dirinya Indonesia. Dua ledakan bom ini tidak akan menghilang oleh isu media lain, sebagaimana berita penyiksaan TKI tersisih oleh Manohara. Ia akan tetap tinggal sebagai luka yang mengingatkan untuk tidak terlena. Sebuah luka yang dibuat oleh bangsa sendiri sementara sebagian orang belum pulih atas suka cita rangkaian pesta demokrasi.
Jika masa depan memang tercipta oleh masa kini, maka masa depan sudah jelas. Dua ledakan bom yang menjadi penanda garis awal harus membawa bangsa ini dalam perjalanan panjang kewaspadaan. Dimana tidak akan ada tempat bagi mereka yang menyebarkan teror dan ketakutan. Karena sekalipun mereka dapat membentuk masa depan, itu hanyalah puing-puing dan kehancuran.#
Jakarta, 23 Juli 2009
Buletin ARUS Edisi VI Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar