Akhir-akhir ini saya sedang menonton sebuah drama televisi berjudul Lost tentang kecelakaan pesawat Boeing 815 yang membuat sejumlah orang terdampar di sebuah pulau di Lautan Pasifik. Cerita yang sangat menarik dan membuat saya miris membayangkan apakah tidak mungkin Indonesia memproduksi sebuah tontonan sekelas Lost.
Jalinan cerita yang dibangun oleh Lost adalah interaksi setiap individu – yang menjadi tokoh utama – tentang bagaimana mereka bereaksi dalam sebuah komunitas baru. Komunitas baru yang sebenarnya terbentuk atas ketidaksengajaan yang bahkan tidak diharapkan. Setiap tokoh adalah cerita itu sendiri. Masa lalu, masa kini dan masa depan mereka menjadi sebuah jalinan utuh yang dramatis.
Jalinan cerita yang dibangun oleh Lost adalah interaksi setiap individu – yang menjadi tokoh utama – tentang bagaimana mereka bereaksi dalam sebuah komunitas baru. Komunitas baru yang sebenarnya terbentuk atas ketidaksengajaan yang bahkan tidak diharapkan. Setiap tokoh adalah cerita itu sendiri. Masa lalu, masa kini dan masa depan mereka menjadi sebuah jalinan utuh yang dramatis.
Tidak ada yang benar-benar baik atau jahat di sini. Setiap orang memiliki masa lalu yang mereka simpan sendiri. Masa lalu yang kemudian pelan-pelan dibuka oleh respon mereka di masa kini, yang membentuk masa depan. Sebuah penggambaran hidup atas individu yang tidak berlebihan.
Tidak ada pembantu rumah tangga yang cantik namun sengaja terlihat ‘kucel’ dan kemudian bernasib baik lalu menikah dengan tuan mudanya yang gagah. Tidak ada pula ibu tiri yang kejam dengan wajah yang selalu menunjukkan kejahatan hatinya seperti layaknya sinetron Indonesia.
Saya memang terlambat untuk mengikuti serial Lost. Walaupun saya menggemari serial televisi Amerika pada umumnya. Sewaktu kecil masih teringat betapa setiap sore saya selalu duduk manis di depan televisi untuk menunggu serial seperti Knight Rider, Superboy, The A-Team, Airwolf bahkan Baywatch. Kemudian pada malam hari masih dilanjutkan dengan McGyver, Mission Impossible, Dark Justice dan lainnya. Baru pada saat dvd player mulai dikenal, saya mengikuti serial Smallville, 24, The Mentalist, Criminal Minds, Castle dan Lost.
Ada jurang yang begitu dalam jika membandingkan kualitas serial televisi Amerika dan sinetron Indonesia. Sinetron Indonesia bahkan tertinggal jika dibandingkan dengan daerah Asia seperti drama seri Jepang dan Korea yang akrab dipanggil dorama. Contohnya Tokyo Love Story, Topeng Kaca, Serigala Layar Perak. Sinetron Indonesia terutama sekali kalah dari segi cerita. Apalagi dibandingkan dengan Lost yang memotong satu pesawat utuh atau 24 yang meledakkan banyak hal. Untuk jenis action sinetron Indonesia masih terlalu jauh ketinggalan.
Tema drama adalah yang paling mungkin untuk kita mengejar ketertinggalan ini. Sayangnya tema cerita yang klise tentang cinta, perjuangan hidup seseorang untuk menaikkan kelas sosial bahkan yang melakukan khotbah tentang agama dan moral masih menjadi tema sentral sinetron. Sehingga selama 10 tahun terakhir saya sudah tidak menonton sinetron Indonesia. Hanya dengan melihat preview saja, akhir ceritanya sudah dapat dipastikan. Lalu apa gunanya menonton?
Tema yang berulang-ulang dalam sinetron Indonesia itulah yang kemudian juga dituangkan dalam satu naskah dialog yang remeh-temeh. Saya katakan begitu karena selalu ada adegan dimana seorang yang sok bijak kemudian berkhotbah luar biasa panjangnya. Dialog panjang akan membuat penonton cepat lelah dan bosan. Anehnya gaya itu banyak dipertahankan sinetron yang bahkan dirasa kurang dengan menambahkan suara hati si tokoh. Apakah penonton sudah sedemikian bodoh untuk dapat memahami pesan visual?
Lalu akting yang luar biasa berantakan. Saya ragu apakah sebuah production house atau stasiun televisi melakukan audisi berdasarkan akting atau sekedar penampilan fisik belaka. Setiap adegan pertikaian harus dilakukan dengan dialog yang berteriak-teriak. Setiap adegan sedih selalu dilakukan dengan dialog yang mendesah-desah. Ini membuat saya teringat salah satu ungkapan iklan, “Mana ekspresinya?”.
Ini mungkin hanya analisa sembrono dari seseorang yang senang menonton serial. Dalam kasus sinetron Indonesia, saya tidak akan ragu untuk menolak pernyataan ‘cintailah produk dalam negeri’. Saya lebih memilih menonton serial seperti Lost yang menawarkan sesuatu. Dan sepertinya untuk sementara saya masih akan tetap menolak menonton sinetron Indonesia yang sudah Lost (tersesat).#
Jakarta, 09 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar