Rabu, 10 Agustus 2011

VERONIKA MEMUTUSKAN MATI

Judul buku : Veronika Memutuskan Mati (Veronika Decides to Die)
Pengarang : Paulo Coelho
Alih bahasa : Lina Jusuf
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan : Februari 2005
Tebal Buku : 258 halaman

Paulo Coelho menawarkan pertanyaan. Di dalam komunitas rumah sakit jiwa, siapakah yang sesungguhnya dianggap gila? Apakah pasien rumah sakit jiwa atau dokter yang bertugas di sana? Novel ini membuat kita berpikir bahwa dengan keluar dari jalur pandangan umum masyarakat tidak serta-merta menjadi gila.

Veronika telah memutuskan untuk mati. Hidup bukanlah hidup yang menyenangkan baginya. Karena itu ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan kematian yang tenang dan perlahan-lahan. Maka menelan pil tidur adalah pilihan. Namun sayang, kematian tidak begitu saja menjawab panggilan. Veronika tetap hidup serta harus berakhir di Villete (asylum).


Villete adalah sebuah rumah sakit jiwa. Sama seperti rumah sakit jiwa pada umumnya, Villete bukanlah tempat yang menarik. Bukan pula tempat yang nyaman untuk melewati sisa-sisa hidup dalam kedamaian. Kematian yang diharapkan di awal akhirnya datang juga dalam wujud sebuah vonis penantian. Namun justru di Villete, Veronika memahami arti kehidupan.

Pertemuannya dengan Zedka, pertemuan dengan Mari yang merupakan anggota Persaudaraan, serta pertemuan dengan Edward si penderita skizofrenia telah membuat Veronika berpikir ulang. Di Villete pula Veronika memahami apa itu cinta. Cinta yang penuh kebebasan dan kegilaan. Bahkan Veronika akhirnya memahami dan mengalami bagaimana kepuasan seks yang tidak mampu ia wujudkan. Veronika keluar dari standar hidup yang telah membelenggu dirinya selama bertahun-tahun. Munculnya kesadaran baru tersebut menyebabkan tumbuhnya semangat hidup Veronika. Akhirnya Veronika menemukan dirinya, dan ia bahagia.

Cerita di atas adalah ringkasan sebuah novel apik dari Paulo Coelho berjudul Veronika Memutuskan Mati (Veronika Decides to Die). Hadirnya Paulo Coelho sebagai dirinya sendiri menjadi daya tarik yang unik. Novel setebal 258 halaman ini mengangkat pemahaman akan hidup bermasyarakat. Villete sebagai sebuah rumah sakit jiwa menjadi tempat pembuangan manusia-manusia yang dianggap tidak normal. Manusia yang berbeda dengan manusia lainnya. Manusia-manusia yang tidak mematuhi norma.

Novel ini mengajarkan apa yang menjadi kegelisahan kita sebagai manusia pada umumnya. Kegelisahan akibat terjebak dalam suatu ’lingkaran setan’ yang disebut nasib. Sebuah rutinitas harian yang menjadi rambu-rambu terhadap keinginan, hasrat dan sikap hidup. Seiring berlalunya waktu, timbul keinginan untuk menantang rambu-rambu tersebut. Namun setiap kali terbentur pada satu tembok bernama norma agar tetap mendapat label sebagai manusia normal. Satu-satunya usaha adalah terpaksa beradaptasi sambil membayangkan apa yang terjadi seandainya kita memaksakan keluar dari lingkaran tersebut.

Setiap manusia itu pada dasarnya unik. Alih-alih bermakna positif, makna kata unik telah mengerucut menjadi makna aneh. Tidak banyak orang mau dianggap aneh. Dianggap aneh karena sikap yang berbeda dengan orang-orang di sekitar. Dianggap aneh karena melakukan hal yang berbeda dengan orang-orang di sekeliling. Bahkan dianggap gila hanya karena tidak wajar.

Sementara itu, makna kewajaran hanya wujud sebuah kontrak sosial oleh sebagian orang yang dipaksakan sebagai standar dalam masyarakat. Hukum rimba berlaku. Kelompok masyarakat terkuat adalah yang paling berhak menetapkan standar hidup. Kelompok masyarakat terbanyak adalah yang paling berhak mendefinisikan kewajaran dan batas normal. Segala sesuatu menjadi universal dan manusia menjadi homogen. Persepsi, apresiasi dan kreasi individu ditantang oleh argumen sepihak.

Paulo Coelho sekali lagi menunjukkan pemahaman yang mendasar tentang hidup dan keresahan di dalamnya. Villete menjadi sebuah sajian rapi yang menggambarkan hubungan antar individu yang mengalami pertentangan batin dalam dirinya. Membaca buku ini bagaikan bercermin dengan posisi kita sedang berada di dalam cermin. Paulo Coelho mampu menghadirkan satu senyum sinis pada diri pembaca atas sebuah refleksi nasib dengan Veronika, Zedka, Mari atau Edward sekalipun. Maka Veronika Memutuskan Mati menjadi jawaban atas pertanyaan besar hidup dalam masyarakat. Pertanyaan akan batas sebuah kewajaran dan ketidakwajaran.

Jakarta, 25 Oktober 2007


Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...