Sabtu, 20 Agustus 2011

MENJADI PENONTON BIOSKOP YANG DEWASA (Bagian I)

Saya menulis artikel ini hampir menjelang tengah malam – selepas menonton di bioskop – sambil menikmati mi instan yang sebenarnya menurut dokter pasti akan merugikan kesehatan saya. Beban di hati meminta saya men-curhat-kan apa yang baru dan sudah beberapa kali saya alami saat berada di bioskop. Saya baru saja menonton film bagian kedua dari seorang jagoan kung fu yang merupakan seekor panda.

Benar, kawan. Saya baru saja menyaksikan Kung Fu Panda 2 (lebih lengkap lihat di sini) di salah satu bioskop yang terletak di dalam mal di Jalan Sudirman. Saat saya berangkat untuk membeli tiket, hati saya dipenuhi harapan bahwa film ini akan memberikan sebuah hiburan di tengah kebosanan saya mendengar berita tentang Nazarudin dan kemarahan saya mendengar berita tentang Walikota Bogor yang tidak kunjung membiarkan jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di gerejanya sekalipun sudah ada keputusan Mahkamah Agung.

Saya membeli tiket untuk duduk menonton di bangku deretan dimana kaki saya dapat berselonjor dengan nyaman. Saat pintu studio dibuka, saya masuk dan menempati bangku, mengalihkan telepon seluler ke nada getar saja, lalu duduk manis menunggu film dimulai. Satu-persatu kursi di studio mulai terisi dengan penonton yang membeli tiket. Ada yang datang berpasangan, mungkin pacaran atau suami istri. Ada yang datang dengan rombongan, bahkan membawa anak kecil.

Layar dibuka dengan iklan dan dua film yang segera diputar. Salah satunya adalah Rio, sebuah film animasi yang bercerita tentang burung kakaktua dari jenis terakhir yang hampir punah. Kilasan film Rio memang lucu dan membuat saya bertekad akan menyaksikannya. Namun dari barisan belakang (di bagian atas saya), tawa-tawa nyaring mulai terdengar dan perasaan saya mulai tidak enak.

Firasat tidak membohongi saya. Kung Fu Panda 2 yang saya harapkan menghibur menjadi menyiksa karena gangguan yang tiada habisnya sepanjang film. Situasi yang sebenarnya bahkan sudah saya prediksi, melihat pengalaman pada saat menonton film bioskop sebelum-sebelumnya. Ada ketidakdewasaan penonton bioskop yang herannya semakin kronis. Setidaknya itulah yang saya simpulkan dengan membandingkan saat menonton bioskop akhir-akhir ini dengan beberapa tahun sebelumnya.

Maka saya menulis artikel ini dan memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya penonton bioskop yang dewasa. Saya memaklumi jika Anda tidak sependapat dengan saya . Anda mungkin menganggap bahwa apapun yang dilakukan penonton bioskop adalah haknya, karena ia telah membayar tiket masuk. Tapi saya pun membayar tiket masuk dan berhak mendapatkan kepuasan menonton tanpa gangguan. Maka jika Anda tidak sepakat dengan pandangan saya tentang penonton bioskop yang dewasa, silakan berhenti membaca artikel ini.

Baiklah. Karena yang tidak sepakat tentang pentingnya menjadi penonton bioskop yang dewasa sudah berhenti membaca, maka bagi Anda yang masih membaca, saya menganggap Anda menyadari pentingnya hal tersebut. Mari kita lanjutkan. Saya akan membagi satu-persatu hal yang saya anggap “gangguan berlebihan” berdasarkan pengalaman saya .

Bagaimana menjadi penonton bioskop yang dewasa? Sebelum film dimulai, sebenarnya sudah ada panduan dari bioskop tentang hal-hal apa yang mengganggu pemutaran film. Mari kita membahas itu dulu.

1. Menonaktifkan telepon seluler
Ini penting sekali. Telepon seluler memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat terutama di kota besar seperti Jakarta. Namun tidaklah sulit untuk mengaktifkan nada getar saja jika memang Anda merasa akan ada komunikasi masuk yang cukup penting. Beberapa hal penting terkait telepon seluler yang harus diperhatikan:
- Jika Anda mendapat telepon, cobalah untuk menjawab dengan berbisik. Jika penting sekali, silakan tinggalkan studio untuk menjawab panggilan tersebut. Jangan ganggu orang lain yang sedang menonton dengan monolog Anda, seolah monolog Anda lebih penting dari dialog film yang sedang diputar.
- Jika Anda mendapat SMS atau pesan dari saluran komunikasi lain (BBM, Twitter, FB, dll), cobalah untuk merespon dengan cepat. Cahaya layar telepon seluler sangat mengganggu dalam kegelapan studio. Saya sendiri pernah mendapat teguran akan hal ini dari seorang kawan, dimana teguran itu saya anggap baik.

2. Dilarang Berbicara
Melarang orang berbicara sudah pasti melanggar HAM atau hak asasi manusia. Hal yang pastinya akan ditentang keras oleh kawan saya Kristian Erdianto, sang pejuang HAM yang menyenangi permainan Counter Strike yang jelas-jelas melanggar HAM. Ironis memang kawan ini… Maka dari itu menurut saya yang dilarang bukanlah berbicara, namun berbicara dengan keras. Suara Anda yang keras akan menggangu penonton lain. Beberapa hal penting terkait berbicara keras yang harus diperhatikan:
- Menjelaskan film
Ada saja penonton yang merasa perlu menjelaskan apa yang sedang terjadi pada suatu adegan film atau hal yang terkait dengan film kepada penonton di sebelahnya. Dan itu dilakukan pada saat film berlangsung. Dude, saya percaya penonton di sebelah Anda tidak bodoh. Jika dia tidak bertanya, jangan jelaskan apapun. Mungkin saja dia paham atau bahkan sudah tahu lebih dari pada informasi yang Anda sampaikan.
- Bertanya
Ada juga penonton yang tidak menangkap adegan tertentu atau tidak tahu asal-mula suatu adegan. Mungkin memang adegannya terlalu cepat atau film merupakan lanjutan dari film sebelumnya, sehingga informasi awal sudah disampaikan. Bahkan jika filmnya diangkat dari buku, terkadang ada hal yang dianggap tidak perlu dimasukkan dalam film sehingga adegan film menjadi sedikit ga nyambung. Jika Anda tidak paham, catat pertanyaan Anda dalam hati. Tanyakan saat film telah selesai. Atau jika keingintahuan sudah mengalahkan nafsu birahi Anda, bertanyalah dengan berbisik. Dan berikan simbol agar orang yang Anda tanya juga menjawab dengan berbisik.
- Berkomentar yang tidak perlu
Ini yang paling menyebalkan. Contohnya saat saya menonton Kung Fu Panda 2, ada seorang wanita yang duduk persis di baris belakang saya berkomentar dengan keras, “Ih, si Po ini lucu banget ya…”. C’mon girl…. Semua penonton juga paham bahwa karakter Po si panda memang dibuat lucu. Jadi tak perlu ada konferensi pers apalagi membagikan siaran pers tertulis tentang itu kepada seluruh penonton yang ada di studio.

3. Dilarang Merokok
Ini tak perlu dijelaskan. Saya pun sebagai perokok aktif tahu persis betapa merokok di dalam studio akan mengganggu. Walaupun memang sangat menyenangkan menikmati sebuah film sambil menghisap sebatang rokok.

4. Dilarang menaikkan kaki ke kursi di depan Anda
Ini juga tidak perlu dijelaskan lagi. Namun terkait dengan hal ini, saya mengalami bahwa bukan hanya menaikkan kaki ke kursi di depan Anda yang tidak boleh. Kita juga harus menyadari bahwa gerakan kita terutama kaki yang menyentuh punggung kursi di depan kita dengan keras, juga menyebabkan penonton di kursi depan tergangu. Pada saat saya menonton Transformers 3: Dark of The Moon, saya bahkan berdiri dan melotot kepada orang di belakang kursi saya. Untungnya beliau sadar dan tidak melanjutkan gangguannya.

5. Dilarang merekam film
Ini juga tidak perlu dijelaskan. Kita paham betapa merugikannya pembajakan, walaupun saya seperti juga sebagian Anda merupakan penonton dan pembeli setia film dalam format DVD bajakan. Mari kita pindah ke topik lain sebelum pemerintah kita yang mem-prihatin-kan menyadari banyaknya peminat DVD bajakan dan mulai merazia Glodok atau Mal Ambassador.

Bersambung ke bagian kedua di sini.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...