Selasa, 15 November 2011

TELEVISI

Satu hal yang saya cermati dari ayah saya adalah kegemarannya menonton siaran berita di televisi. Dari siaran berita stasiun televisi yang satu ke berita di stasiun televisi lainnya. Sekalipun itu berita yang sama, menurutnya selalu ada paling tidak satu sudut pandang yang berbeda antara berita di satu stasiun dengan stasiun lainnya. Mungkin itu sudut pengambilan gambar, komentar dari pakar yang berbeda, ataupun justru opini yang berbeda dari kebijakan redaksi suatu stasiun televisi.
 
Hal itu dijelaskan dengan panjang lebar oleh ayah saya pada saat saya bertanya mengapa ia memindahkan saluran televisi hanya untuk menonton siaran yang memberitakan satu hal yang sama. Saya tidak mendebat lebih jauh penjelasan tersebut. Mungkin akibat kebiasaan sejak kecil yang masih tersisa dimana saya diajari untuk meng-iya-kan saja perkataan orang yang lebih tua. Selain untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu, meng-iya-kan juga dapat dianggap sebagai simbol penghormatan terhadap orang yang lebih tua.

Saya pribadi sudah jarang menonton televisi. Saya menonton televisi hanya untuk menyaksikan siaran langsung pertandingan sepakbola. Itupun hanya jika klub favorit saya Manchester United sedang berlaga. Sementara untuk menonton atau mendapatkan berita, saya mengandalkan informasi melalui jaringan media sosial seperti Facebook, Twitter bahkan blog.

Menurut saya sebuah berita - yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yg hangat; kabar laporan: pemberitahuan; pengumuman - menjadi sebuah berita jika informasi di dalamnya memiliki dampak bagi penikmatnya. Dampak di sini dapat berarti positif atau negatif. Positif misalnya menimbulkan rasa senang, bahagia, bangga dan lainnya. Negatif misalnya menimbulkan rasa sedih, takut, cemas, muak dan lainnya.

Kedua dampak ini dibutuhkan. Perasaan senang, bahagia dan dampak positif lainnya sudah pasti menjadi kebutuhan. Demikian pula dampak negatif. Kita menjadi takut dan cemas dengan berita kejahatan seperti terjadi pembunuhan atau pemerkosaan misalnya. Namun berita sejenis ini membuat kita meningkatkan kewaspadaan terhadap diri kita.

Kembali kepada televisi, dengan tampilan visual dan audio serta kemampuan real time (siaran langsung) yang luar biasa. Televisi menurut saya cenderung menyiarkan berita dengan dampak yang sama terus-menerus. Hal ini diperparah terutama dengan berita dari dunia politik dan dunia hiburan dengan inti berita yang sama, dilakukan terus-menerus dalam jangka waktu tertentu. Dampak yang dihadirkan kepada pemirsa televisi yang saya alami adalah kejenuhan. Jenuh akibat pernyataan tokoh politik yang satu, bosan dengan keluhan artis yang lain. Saya melihat hal ini sudah mulai diatasi oleh beberapa stasiun televisi dengan menampilkan program berita yang dipilih pemirsa atau berita yang dikemas atas permintaan pemirsa.

Berbeda dengan media sosial, seperti Twitter misalnya, yang saat ini menjadi sebuah lalu lintas informasi yang mampu mengakomodir berbagai kebutuhan. Seorang individu sebagai konsumen diberikan kebebasan mutlak untuk memilih secara khusus jenis informasi yang diinginkan. Informasi muncul sebagai daftar yang dapat dipilih, diabaikan jika tak suka. Bahkan media sosial sudah lama muncul menjadi berita komunitas. Berita muncul dari masyarakat untuk masyarakat. Dari satu individu untuk individu lainnya.

Saya tidak akan katakan kepada anda untuk mematikan televisi. Catatan saya ini mungkin hanyalah sebuah cerita tentang televisi yang saya miliki, yang memiliki arti saat ada siaran langsung pertandingan sepakbola. Sama seperti puisi saya berjudul Televisi Tua, yang saya tampilkan di blog saya di http://kontemplasitakdir.tumblr.com. Sebuah televisi yang tak lagi muda.#

Jakarta, 11 September 2011

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...