Sabtu, 17 Mei 2008

BELAJAR BERBUAT SALAH

Belajar matematika itu mudah. Sediakan angka, masukkan rumusnya - dan abrakadabra - hasilnya nyata dengan segera. Belajar kimia juga mudah. Campurkan sedikit cairan ini, ditambah dua tetes ramuan 'anu' - dan simsalabim - jadilah sudah. Sepertinya tidak ada belajar yang sulit. Semuanya mudah. Kata kuncinya hanya dua, yaitu semangat dan kerja keras. Faktor bakat kurang diperhitungkan dan bukanlah prioritas.

Thomas Alfa Edison si raja penemu itu bahkan menyatakan kalau bakat adalah 1% ilham ditambah 99% kerja keras. Pernyataan ini mempunyai keakuratan yang nyaris sempurna. Masalahnya ia sendiri telah menjadi bukti hidup atas pernyataan tersebut.

Muncul pertanyaan kenapa kita harus belajar dengan susah payah. Belajar pangkal pandai, demikian lembaga sekolah menegaskan pentingnya proses belajar. Belasan mata pelajaran diajarkan oleh guru yang berbeda. Segala macam hitungan eksakta hingga budi pekerti. Beragam rumus yang membuat pusing hingga kesopanan yang dianggap penting. Harapannya jelas, dengan bekal tersebut peserta didik dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.

Pada tahap ini, kata kuncinya sedikit berbeda. Kesempurnaan adalah satu-satunya pilihan. Kekeliruan adalah kesalahan, dan kesalahan berarti pengkhianatan terhadap pengetahuan. Saat dosa kesalahan sudah kadung dilakukan, maka konsekuensinya adalah sebuah hukuman. Tidak jarang hukuman tersebut berupa menulis puluhan baris kalimat ”Saya tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi”. Lebih sial lagi bila berujung pada kesimpulan bahwa si murid tidak berbakat. Maka muncul pernyataan logis. Keledai saja tidak akan terjerumus dua kali ke dalam lubang yang sama.

Peringkat pun menjadi acuan. Nilai di atas kertas di-dewa-kan. Memasuki tahap ini peserta didik mengalami fase kegetiran. Angka delapan dan sembilan menjadi pencarian dan segala cara akan dihalalkan. Kasta terendah seorang pelajar mulai ditentukan dari seberapa banyak nilai merah hasil proses belajar.

Seorang kawan pernah menulis opini yang diberi judul ”Ajarlah mereka juga berbuat kesalahan”. Isinya memberikan pemahaman tentang cara-cara mengajarkan kesalahan. Pemahaman yang menarik. Saya tertegun dan mencoba mencari di mana ada pelajaran kesalahan. Namun tidak kunjung saya temukan keberadaan seorang ’guru kesalahan’. Belum pernah ada. Belajar berbuat kesalahan hanya akan meruntuhkan paradigma konvensional lembaga sekolah.

Saya sepakat dengan isi opini tersebut. Hanya pada saat berbuat kesalahan, maka manusia akan menjadi manusia dan tetaplah menjadi manusia. Kesalahan adalah bagian dari kesempurnaan kemanusiaan. Benarkah demikian? Pendapat ini pun masih harus diuji kembali. Karena mungkin saja pendapat ini pun adalah sebuah kesalahan.

Memang akhirnya kesalahan tetaplah sebuah kesalahan. Dan kesalahan memunculkan ganjaran. Namun kegagalan bukanlah final dan kesalahan pada dasarnya tidak pernah fatal. Kesalahan pun adalah bagian dari proses belajar, bahkan kadang-kadang malah merupakan proses belajar itu sendiri. Sehingga lebih tepat kalau konteksnya bukan belajar berbuat salah, namun belajar menyikapi kesalahan.#

*nada minor, Oktober 2008 (pilot project)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...