Berita seputar perceraian Ahmad Dhani menjadi konsistensi berita di media massa dalam setengah tahun terakhir. Awal mula renggangnya hubungan keluarga, isu kedekatan dengan orang lain, sampai perebutan hak perwalian anak dianggap menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Walaupun berujung pada oplah atau rating, namun fenomena ini cukup menarik untuk dicermati.
Saya tidak bermaksud ikut-ikutan bergunjing tentang bagaimana kisruhnya rumah tangga pentolan band Dewa tersebut. Saya menyinggung sedikit hal itu karena saya lebih terusik dengan kalimat dalam salah satu lagu ciptaannya yang berkata “Masih terjajah... Belum merdeka... Terjajah bangsa sendiri...”
Penggalan lirik lagu yang berjudul Interupsi ini sepintas mengingatkan saya akan dua fase sejarah bangsa Indonesia. Pertama adalah tahun 1945 yang selalu diingatkan guru sejarah sebagai tahun proklamasi. Sementara yang kedua adalah tahun 1998 dimana akan selalu dikenang sebagai tahun reformasi.
Kedua tahun ini secara simbolis menurut saya telah menjadi tahun kebebasan. Tahun 1945 adalah tahun dimana kita bebas dari penjajahan Belanda dan Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta menjadi figur bergelar Tokoh Proklamasi. Sementara tahun 1998 adalah tahun dimana kita bebas dari penjajahan bangsa sendiri. Kali ini, mahasiswa secara umum menjadi aktor utama.
Menengok sedikit ke negeri tetangga, Perancis pun mengalami sejarah yang sama. Kebebasan, persamaan dan persaudaraan adalah hasrat terpendam masyarakat yang dibelenggu pahitnya keadaan. Hasrat terpendam yang menyeret Louis XVI ke panggung pemenggalan. Kepahitan yang mengarahkan Marie Antoinette ke pisau guillotine di tengah lapangan.
Topik ini menjadi perdebatan saya dengan seorang teman beberapa waktu lalu. Menurutnya penjajahan itu pasti ada, walaupun tidak lagi secara fisik, tapi sistem, perbedaan hak, termasuk penyempitan pola pikir. Dengan bersemangat teman saya menambahkan bahwa orang-orang yang bernasib seperti ini harus dibebaskan dari penjajahan.
Sambil mengangguk-angguk, saya bergumam dalam hati bahwa kata merdeka masih dibutuhkan. Merdeka dari penjajahan yang melukai fisik dan mental. Tapi merdeka bukanlah sekedar bebas dari tekanan penjajah. Merdeka bukan sekedar ’bebas dari’ namun harus dimaknai juga sebagai ’bebas untuk’. Tanpa pemikiran ini, kebebasan akan menjadi tanpa arah yang berakhir di kebablasan. Pertanyaannya adalah sudahkah kebebasan itu kita miliki. Dan ke mana kebebasan itu akan kita bawa untuk dinikmati.
Maka merdeka seharusnya tidak hanya sebuah kata yang sering diserukan Megakarti dalam acara Republik Mimpi. Dan kata merdeka bukanlah teriakan kosong acara tujuh belasan di kelurahan. Bahkan merdeka tidak layak lagi sekedar bersanding dengan mati. Merdeka adalah keinginan. Merdeka adalah buah dari pilihan yang dilandasi pemahaman yang utuh akan kebebasan.#
*nada minor, Maret 2008, LIBERTE EGALITE FRATERNITE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar