Saya agak menghindar bila ada indikasi topik pembicaraan mulai mengarah pada perempuan. Bukan karena saya tidak punya pengalaman menarik dengan perempuan. Juga bukan pula karena saya pernah dikecewakan oleh perempuan.
Bahkan, bukan pula karena saya bosan dengan perempuan. Walaupun kecenderungan munculnya rasa bosan tersebut adalah wajar karena saya tumbuh besar sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga.
Tapi alasan utamanya adalah karena pandangan tentang perempuan itu sangat unik dan beragam. Mungkin perempuanlah satu-satunya penjelmaan bagian tubuh laki-laki yang paling sulit dipahami. Itupun kalau kita sungguh menerima keyakinan bahwa perempuan memang berasal dari tulang rusuk laki-laki.
Banyak pihak melekatkan penghargaan secara khusus pada sosok perempuan. Mulailah menghitung dengan hari ibu tanpa ada hari bapak. Jangan lupakan pula Kartini sebagai sosok fenomenal yang menjadi simbol kesetaraan perempuan dan laki-laki. Uniknya, poin kesetaraan inilah yang secara tidak sadar muncul sebagai subtopik perdebatan.
Kesetaraan ini pula yang kemudian coba dinetralisir, diperjuangkan oleh kaum perempuan ataupun kaum laki-laki yang berpandangan demikian. Pembenaran yang diberikan adalah bahwa di belakang sukses setiap orang, tidak bisa dipungkiri selalu ada peran seorang perempuan. Paling tidak orang sukses itu pasti lahir dari seorang ibu yang normalnya adalah perempuan.
Namun kesetaraan justru terabaikan di belahan lain negara ini. Masih ditemui kenyataan adanya kaum perempuan yang dipandang sebelah mata. Perbedaan anggapan yang tampak dalam kebanggaan jalur darah keturunan kaum laki-laki. Hal mana dari sudut pandang saya merupakan degradasi nilai manusia sebagai seorang manusia. Dalam konteks ini, perempuan bukanlah bagian dan hanya menjadi perhiasan sejarah saja.
Satu hal yang patut disyukuri adalah bahwa dapur, sumur dan kasur bukan lagi menjadi tiga unsur yang melebur dalam persepsi tentang perempuan. Suatu pandangan ironis karena bahkan tidak layak membaur dalam konsep sosok pembantu rumah tangga.
Inilah beberapa pandangan kontradiktif yang selalu mengiringi pemahaman saya tentang perempuan. Di satu sisi, hegemoni kaum adam adalah ego yang harus dimenangkan. Di lain pihak, sungguh sangatlah terlambat bila perempuan hanya sekedar bersaing dengan superioritas laki-laki.
Maka inilah alasan saya mengelak berbicara tentang perempuan, karena berbicara tentang perempuan bagi saya hanyalah salah satu sudut pandang dalam diskusi tentang kasta manusia dimana jenis kelamin menjadi batasnya.#
*nada minor, Februari 2008, PEREMPUAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar