Perbincangan kami malam itu ditemani dua gelas kopi dan asap rokok yang mengebul. Pertemuan mendadak di salah satu café di jantung ibukota ini sungguh tidak diduga. Walaupun memang sedikit aneh bila bertemu secara tiba-tiba dengan orang yang dulu kita kenal dekat dan sudah lama terpisah. Setelah saling bertukar kabar dan cerita tentang keadaan teman-teman yang lain, obrolan kami beranjak kepada kehidupannya di luar negeri.
“Wah, di sana berbeda dengan di sini. Semuanya serba teratur. Apalagi masalah lalu lintas”, katanya. “Negara mereka memang lebih dulu merdeka, tapi seharusnya tidak menjadi tolak ukur. Kalau kita mau sih bisa. Sepertinya memang bangsa kita yang mental tempe”, tambahnya sambil menghirup kopi.
Saya tidak memberikan tanggapan. Namun, sambil menghirup kopi saya memikirkan pernyataan tersebut. Mental tempe adalah sebutan yang sudah lama muncul. Suatu istilah yang kerap digunakan untuk orang atau sekumpulan orang yang dianggap memiliki mental yang lemah. Mungkin dapat pula diartikan sebagai kepengecutan.
Jangan tanya pada saya kenapa disebut mental tempe dan bukan mental kerupuk. Sejauh ini saya belum menemukan jawaban akurat yang mampu menjelaskan mengapa kata tempe yang digunakan dalam istilah ini. Guru-guru Bahasa Indonesia pun dulu tidak pernah menerangkan kenapa.
Kalau dipikirkan lebih lanjut, kasihan sekali nasib tempe. Tanpa bisa mengajukan pembelaan, putusan sudah dijatuhkan. Tempe telah melekat dalam istilah kelemahan atau kepengecutan. Kontradiktif sekali dengan tempe dalam arti sesungguhnya yang sering digunakan sebagai lauk pelengkap nasi.
Padahal tempe yang berasal dari kedelai adalah makanan yang bergizi. Kedelai memiliki kualitas protein yang tinggi sehingga memperoleh julukan ‘gold from the soil’. Bahkan kedelai pun telah diolah sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi menjadi pengganti daging bagi mereka yang vegetarian. Oleh karena itu, tempe pun seharusnya mendapat kehormatan serupa dengan kedelai, karena tempe merupakan metamorfosis kedelai atas paksaan ragi.
Di tangan seorang koki handal, tempe adalah bahan masakan yang dapat diolah untuk menggugah nafsu makan. Sebut saja tempe goreng, tempe bacem, tempe mendoan, maupun sekedar sambal goreng tempe. Kesemuanya adalah cita rasa yang mendunia. Tidak perlu heran, berhembus kabar kalau tempe menjadi saksi bisu meja hijau karena sengketa perebutan hak paten pengolahannya.
Naiknya harga tempe di pasar internasonal telah membuat pengusaha tempe menjerit. Melonjaknya ongkos produksi yang menyebabkan naiknya harga tempe telah membuat pelahap tempe berjengit. Akibatnya, bangsa ini pun perlahan-lahan bukan lagi bangsa penikmat tempe. Bukan karena tidak suka, tapi tidak mampu membiayai tempe.
Maka dari itu sungguh tidak layak dan tidak tepat kalau bangsa ini disebut ber-‘mental tempe’. Tempe sudah tidak lagi menjadi citra diri nusantara. Apalagi direkatkan dalam tolak ukur mental bangsa. Tolak ukur mental sebuah bangsa yang mungkin akan kehilangan tempe.#
*nada minor, Januari 2008, METAMORFOSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar